Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Saturday, April 20, 2013

Pelayanan Khusus bagi yang Cacat

OLEH dr NOVI MAULINA, peserta short course bahasa Mandarin di National Sun-Yat Sen University, Kaohshiung-Taiwan.

TAIWAN merupakan salah satu negeri yang memiliki pelayanan publik yang baik. Tidak ada perbedaan pola pelayanan antara penduduk asli dan warga pendatang, juga bagi orang sehat maupun orang cacat yang memiliki kepentingan di ruang publik. Semua tertata dengan teratur dan informatif. Dilengkapi dengan fitur teknologi yang mempermudah keluwesan pelayanan.

Tidak jarang di tempat-tempat umum saya lihat para disabled (penyandang cacat) bepergian sendiri atau kadang bersama keluarga dan ikut menikmati fasilitas umum seperti bus, kereta api, mass rapid transit (MRT), bahkan toilet.   

Di Taiwan, Undang-Undang tentang Kesejahteraan bagi Penyandang Cacat dibuat tahun 1980 yang mencakup lima disabilitas, yaitu orang yang cacat fisik, gangguan pendengaran, gangguan bicara, kehilangan anggota gerak akibat kecelakaan atau sebab lain, serta keterbelakangan mental. 

Pada tahun 1997 kriteria disabilitas ini diperluas menjadi 14 poin dan Undang-Undang Kesejahteraan diubah menjadi Undang-Undang tentang Perlindungan bagi Masyarakat dengan Cacat Fisik. 

Dulu, departemen sosial berperan besar dalam perlindungan penyandang cacat, namun undang-undang baru mengharuskan semua sektor publik seperti sektor kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, bidang konstruksi, dan keuangan turut berperan dalam perlindungan bagi penyandang cacat.

Tercatat sekitar 2,3% (534.237 orang) dari total populasi di Taiwan mengantongi sertifikat cacat dari Central Health Supervising Agency. Sertifikat ini memudahkan mereka dalam mendapatkan pekerjaan yang sesuai (untuk sebuah institusi publik yang jumlah karyawannya >50 orang, 2%-nya harus diisi oleh penyandang cacat, sementara untuk swasta 1% diisi oleh penyandang cacat). 

Mereka juga dipermudah mengakses sarana transportasi. Ketika mereka menggunakan jasa transportasi kereta api, misalnya, mereka hanya perlu membayar half-fare atau setengah dari harga biasa, dapat pula gratis untuk anak-anak sekolah yang cacat. Jalur masuk setelah memproses tiket juga disiapkan khusus. 

Di dalam bus atau kereta bawah tanah (MRT) pun disediakan tempat khusus (priority seat, selain untuk ibu hamil, orang tua, dan wanita yang membawa bayi) yang relatif mudah dijangkau oleh penyandang cacat, sehingga tidak mempersulit gerak mereka. Inilah yang membuat mereka sering bepergian sendiri dengan kursi roda (manual atau listrik) atau menggunakan tongkat dengan nyaman.

Pembangunan sarana publik juga mensyaratkan fasilitas bagi penyandang cacat. Misalnya, lintasan yang landai disertai pagar pengaman (sebagai ganti tangga), lift (tombol yang lebih rendah sesuai tinggi kursi roda), dan toilet (kloset duduk disertai shower dan tisu yang berdekatan). Pendeknya, orang cacat akan mudah menjumpai ruang dengan lambang orang yang sedang duduk di kursi roda di setiap sarana publik di negara ini. 

Seorang akademisi Taiwan dalam sebuah artikel ilmiah menyatakan, setiap sarana publik bagi penyandang cacat dan orang-orang yang membutuhkan sarana khusus tersebut haruslah dibuat dengan standar yang tinggi, karena yang ada saat ini belum tentu cukup memudahkan mereka, sehingga perlu banyak pengkajian lainnya. Meski pengguna fasilitas publik ini tidak semuanya cacat, namun kita semua bisa saja sakit dan menjadi tua. Jadi, menolong mereka (orang-orang cacat) berarti juga menolong diri kita sendiri. Sebuah peringatan yang humanis. 

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia

Thursday, April 18, 2013

Persaudaraan Muslimah di Taiwan

OLEH dr NOVI MAULINA, menempuh Short-Course bahasa Mandarin di National Sun Yat-Sen University, melaporkan dari Taiwan

Kaulah ibuku, cinta kasihku, terima kasihku takkan pernah terhenti.
Kau bagai matahari yang selalu bersinar, sinari hidupku dengan kehangatanmu.

Alunan lagu Ibu yang dipopulerkan Haddad Alwi dan Farhan ini terdengar indah di sebuah sudut Kota Taipei, Ahad, 14 April lalu. Terlihat suasana haru dan mata berkaca-kaca dari para undangan saat sekelompok mahasiswi Aceh (Hualien Voice) yang sedang studi di National Dong Hwa University (NDHU) membawakan lagu Ibu ini dalam acara deklarasi Salimah (Persaudaraan Muslimah) Taiwan. 

Hari itu muslimah Indonesia di Taiwan menyelenggarakan deklarasi dan pelantikan pengurus Salimah Cabang Taiwan, Talkshow “Keluargaku, Surgaku”, dan pelatihan wirausaha yang diisi Ketua Umum Salimah Pusat, Hj Nurul Hidayati MBA, dan Ibu Ir Etty Pratiknyowati.

Organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pemberdayaan muslimah, pengokohan institusi keluarga, serta perlindungan memadai bagi anak ini, disambut hangat oleh semua pihak. Berdasarkan data terkini, sekitar 193.000 warga Indonesia di Taiwan dan 80%-nya adalah pekerja wanita dengan segala permasalahannya, sehingga kehadiran organisasi khusus muslimah ini dirasakan amat perlu. “Terutama untuk mengisi ruang amal bagi wanita Indonesia di Taiwan yang jauh dari keluarga,” kata Ahmad Syafrie, Ketua Kamar Dagang dan Ekonomi Indonesia (Kadin) yang turut hadir membuka acara.

Saat Talkshow “Keluargaku, Surgaku” yang membahas tentang bagaimana membangun hubungan positif dalam keluarga, muncul pertanyaan menarik dari seorang ibu. Ia mengaku punya anak-anak yang sudah bersekolah dan sangat fasih berbahasa Mandarin, sehingga si ibu terkadang sulit mengontrol buku bacaan si anak. Ironisnya lagi, mereka kurang suka apabila diberikan buku bacaan berbahasa Indonesia yang dianggap oleh si orang tua lebih bagus. 

Terhadap pertanyaan ini, Bu Nurul memberi tip komunikasi efektif pada anak dan mengajarkan para ibu tentang kerendahan hati untuk saling belajar bahasa dan tidak sekadar memprotes anak. Kemampuan berbahasa ini dirasakan cukup penting, dengan melihat karakter positif dari masyarakat Taiwan sendiri. Ibu Nurul mengungkapkan betapa secara umum warga Taiwan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan fitrah manusia, seperti senang akan kebersihan, ramah, fair (jujur), suka menolong, dan tidak merendahkan orang lain.

Menurut beliau, ini adalah karakter potensial yang memungkinkan si anak yang gandrung berbahasa Mandarin untuk bisa dijuruskan ke arah yang lebih baik dan ini tentu saja dilakukan lewat komunikasi dengan bahasa yang mereka pahami.

Dalam sesi pelatihan wirausaha yang mengusung tema “Memulai Usaha Mandiri dengan Jiwa Wirausaha”, Kabid Ekonomi, Sosial, dan Kesehatan Lingkungan Salimah Pusat yang juga lulusan Teknik Pangan UGM ini menyatakan, wirausaha adalah bentuk tradisi kebaikan lain yang perlu diupayakan untuk membawa keberkahan bagi kehidupan bermasyarakat melalui indikasi kemakmuran. 

Berbicara tentang kemakmuran, Bu Etty mengatakan, ketika seseorang makmur ia akan dengan bahagia menjalankan aktivitasnya dan tenang dalam mencari rezeki. 

Adapun Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/ HDI) Indonesia kembali merosot dari peringkat 104 di tahun 2010 menjadi peringkat 124 dari 189 negara di tahun 2011 di bawah Palestina, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam. 

Hal ini disebabkan kemiskinan yang masih membelit penduduk yang mengakibatkan pada rendahnya kondisi ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Walaupun ini semua merupakan indikasi fisik, namun kefakiran (kemiskinan), seperti disabdakan Rasulullah saw, dapat mendekatkan kita pada kekafiran. Sehingga penting bagi para muslimah untuk membekali diri semaksimal mungkin dengan berbagai ilmu sebelum terjun ke dunia wirausaha. Sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa barangsiapa menginginkan dunia dan akhirat sekaligus maka harus dengan ilmu. Demikianlah sifat ilmu yang terus meninggikan derajat para pencarinya.

Oleh karenanya, semoga kehadiran ormas ini dapat menjadi wadah bagi perempuan Indonesia di Taiwan untuk terus belajar, mengembangkan diri sehingga dapat membangun keluarga dan peradaban yang baik meski berada jauh dari Tanah Air.

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia

Wednesday, April 17, 2013

Cara Taiwan Menjuarai Matematika Sedunia

OLEH MUSLEM DAUD MEd Mgmt PhD Student di NTCU-Taichung, Taiwan.

SURVEI menunjukkan bahwa siswa-siswa di sekolah Cina Taipei (Taiwan) tidak menyukai matematika. Namun, hasil tes kemampuan matematika mereka justru berada pada peringkat teratas dunia bersama Korea Selatan, Singapura, Jepang, dan Hong Kong (Cina).

Pencapaian ini melampaui prestasi siswa-siswi dari negara kuat seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Australia. Sementara itu, prestasi siswa di Malaysia dan Thailand masih lebih baik dibanding Indonesia yang berada di kisaran 35 dari 60 negara yang ikut dalam tes tersebut.

Dua sisi berbeda--prestasi yang dicapai dan ketidaktertarikan siswa terhadap matematika--ini menjadi bagian dari publikasi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS), sebuah lembaga di Amerika yang bekerja sama dengan 60 negara peserta yang ikut dalam tes ini. Peserta tes adalah siswa kelas 4 SD dan siswa kelas 2 SLTP sebanyak 4.000-an per negara peserta. Indonesia sendiri hanya ikut tes untuk tingkat SLTP saja. Tes ini diselenggarakan empat tahun sekali, melibatkan lebih dari 250.000 siswa di seluruh dunia.

Tren ketidaksukaan siswa-siswa Taiwan terhadap matematika ditunjukkan secara kontinyu. Buktinya, siswa-siswi Taiwan berada di peringkat 36 pada tahun 2011 atas ketidaksukaan mereka terhadap matematika, peringkat 39 pada tahun 2007, peringkat 42 tahun 2003, dan peringkat 32 pada tahun 1999.

Sementara itu, prestasi dunia yang diraih siswa-siswa Taiwan adalah peringkat 3 pada tahun 2011, peringkat 1 tahun 2007, peringkat 5 tahun 2003, dan peringkat 4 tahun 1999. 

Lalu muncul dua pertanyaan, kenapa dua sisi berbeda ini bisa terjadi pada sebuah subjek yang sama, yaitu siswa-siswi Taiwan? Pertanyaan kedua, kiban cara (bagaimana caranya) siswa-siswi tersebut dapat mencapai prestasi segemilang itu? 

Untuk menjawab pertanyaan pertama, antara lain, dapat ditinjau dari sisi psikologis di mana siswa-siswi Taiwan dan juga siswa di negara lainnya lebih low profile (berendah hati) dalam menjawab pertanyaan bahwa mereka tak mau berspekulasi dan sesumbar bahwa mereka sebetulnya mampu sebelum melakukannya. Kemungkinan lain adalah mereka memang tidak suka matematika, karena harus selalu bergelut dengan angka-angka dan rumus-rumus.

Untuk menjawab pertanyaan kedua bagaimana cara mencapai prestasi tersebut, sesungguhnya dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: 1) sumber belajar, 2) proses dan kedisiplinan belajar, 3) lingkungan belajar dan dukungan keluarga.

Ternyata, siswa-siswi Taiwan punya sumber belajar yang sangat memadai, mulai dari buku teks berbagai penerbit, alat bantu belajar/ media, dan berbagai sumber belajar penunjang lainnya, baik yang tersedia di sudut-sudut baca dalam kelas, maupun di dalam perpustakaan. Ini merupakan dukungan pemerintah yang cukup besar.

Proses belajar juga berperan penting bagi siswa untuk terus-menerus mempertahankan prestasinya dalam peringkat lima besar dunia. Siswa-siswi Taiwan sangat disiplin belajar dan doyan ikut les. 

Berdasarkan tanya jawab saya degan rekan sekuliahan di National Taichung University, rupanya pelajar-pelajar Taiwan menghabiskan waktu mereka untuk belajar rata-rata 14 hingga 16 jam per hari. Anak-anak SLTP, misalnya, sudah ke luar rumah sekitar pukul 6 pagi dan pulang ke rumah pukul 22.00 malam. Mereka pergi dari rumah dan sampai di sekolah pukul 7, lalu belajar hingga pukul 12.30 dibarengi dengan istirahat satu jam. Dilanjutkan dengan belajar dari pukul 14.00 hingga pukul 17.00. Pada pukul 17.00 ke pukul 18.00 ada tambahan les atau olah raga di sekolah. Pukul 19.00 hingga pukul 21.00 mereka ikut les di luar sekolah. Pulang dan sampai di rumah pukul 22.00. 

Kenyataan ini telah menginspirasi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan Kurikulum 2013 di mana siswa-siswi diharapkan menghabiskan waktu lebih banyak untuk belajar.

Lingkungan belajar dan dukungan keluarga juga turut berperan dalam mendongkrak prestasi siswa-siswi. Saya tak temukan anak-anak usia sekolah yang berkeliaran pada saat jam sekolah, apalagi tak sekolah. Di samping itu, orang tua pun terus mendukung anak mereka untuk belajar dan mengukir prestasi membanggakan. Orang tua pun tidak mau dibantu oleh anaknya yang masih usia sekolah, misalnya, untuk menjalankan bisnis/jualan. Kenyataan ini berbeda sekali dengan di tempat kita, di mana masih terdapat anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah dengan alasan berbeda, termasuk mengemis untuk menghidupi keluarga. 

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia.

Friday, April 12, 2013

Undangan Khusus sang Laoshi

OLEH KAHLIL MUCHTAR MSc, kuliah bahasa Mandarin di National Sun Yat-Sen University, Taiwan, melaporkan dari Taiwan

DI pengujung spring vacation (libur musim semi), kami berkesempatan memenuhi undangan laoshi (guru) bahasa Mandarin di Distrik Luzhu, pinggiran Kaohsiung, kota dengan pelabuhan terbesar di Taiwan. Jaraknya sekitar 32 menit dari pusat Kota Kaohsiung menggunakan kereta api lokal. 

Tidak jauh berbeda dengan kultur negara timur lainnya, laoshi mengundang kami untuk melihat rumah barunya dan minum teh bersama. Kalau di Indonesia kita sering menyebutnya acara syukuran rumah baru. 

Selain menyediakan teh, si tuan rumah juga mengadakan beberapa  kegiatan. Yang paling berkesan bagi kami sebagai foreign student (pelajar luar negeri) adalah dia ajarkan cara membuat makanan dumpling (pangsit) ala Taiwan.

Pelajar yang hadir ke rumah baru sang Laoshi itu tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari Belgia, Swedia, Jepang, dan Vietnam. Mayoritas dari mereka adalah pelajar yang mendapatkan beasiswa dari Taiwan atau negara asal dan akan mengikuti pendidikan bahasa Mandarin sekitar dua tahun. Sehingga tak heran, mereka yang berperawakan Eropa, rambutnya pirang dan matanya biru, tapi sangat fasih berbahasa Mandarin. 

Dalam bahasa Mandarin, berkunjung biasa disebut canguan. Karena hanya kami yang beragama Islam, maka jauh-jauh hari sudah kami informasikan kepada laoshi bahwa kami tidak boleh memakan pork (daging babi) dan daging lainnya yang tidak dipotong dengan lafaz Allah. Alhamdulillah, sang Laoshi mengerti dan khusus untuk kami disediakan bahan dumpling (pangsit) berisi sayur.

Membuat dumpling ini, sebenarnya tidaklah sulit. Hanya dengan kulit pangsit dari tepung, sayur yang berisi jagung, jamur, dan sejenisnya, lalu ditambah air untuk merekatkannya, jadilah pangsit ala Taiwan. Setelah itu, masih di kompleks rumah baru laoshi, kami diajak jalan santai di perumahan tersebut yang terlihat masih sangat baru dan terkesan elite. 

Di dalam kompleks itu banyak dibuat taman untuk anak-anak bermain, untuk pesta barbecue, hingga fasilitas untuk menyeduh teh di alam luas. Yang berbeda dari wilayah perumahan ini adalah, jauh dari pusat kota sehingga suasana perumahannya lebih alami. Tidak bertingkat-tingkat seperti layaknya apartemen dan flat di pusat kota Taipei, Taichung, dan Kaohsiung City.

Ada dua hal yang terlihat sederhana, namun menjadi bahan renungan bagi kami di pengujung liburan kali ini. Pertama, sebagai makhluk sosial kita dituntut untuk terus mengeratkan tali silaturahmi. Apalagi dengan guru yang sudah mengajari kita bekal ilmu pengetahuan.

Kedua, tata kota ala Taiwan mengajarkan kita untuk membuat kota agar enak ditempati. Penggunaan lahan di pusat kota seefisien mungkin, area perumahan dibuat di daerah subur/pinggir kota, taman-taman luas yang dipergunakan untuk masyarakat melepas penat, lalu lintas yang teratur, serta kendaraan umum yang pilihannya banyak serta nyaman dikendarai. Maunya, Aceh pun mengadopsi konsep tata kota seperti ini. 

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia.