Friday, April 12, 2013

Undangan Khusus sang Laoshi

OLEH KAHLIL MUCHTAR MSc, kuliah bahasa Mandarin di National Sun Yat-Sen University, Taiwan, melaporkan dari Taiwan

DI pengujung spring vacation (libur musim semi), kami berkesempatan memenuhi undangan laoshi (guru) bahasa Mandarin di Distrik Luzhu, pinggiran Kaohsiung, kota dengan pelabuhan terbesar di Taiwan. Jaraknya sekitar 32 menit dari pusat Kota Kaohsiung menggunakan kereta api lokal. 

Tidak jauh berbeda dengan kultur negara timur lainnya, laoshi mengundang kami untuk melihat rumah barunya dan minum teh bersama. Kalau di Indonesia kita sering menyebutnya acara syukuran rumah baru. 

Selain menyediakan teh, si tuan rumah juga mengadakan beberapa  kegiatan. Yang paling berkesan bagi kami sebagai foreign student (pelajar luar negeri) adalah dia ajarkan cara membuat makanan dumpling (pangsit) ala Taiwan.

Pelajar yang hadir ke rumah baru sang Laoshi itu tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari Belgia, Swedia, Jepang, dan Vietnam. Mayoritas dari mereka adalah pelajar yang mendapatkan beasiswa dari Taiwan atau negara asal dan akan mengikuti pendidikan bahasa Mandarin sekitar dua tahun. Sehingga tak heran, mereka yang berperawakan Eropa, rambutnya pirang dan matanya biru, tapi sangat fasih berbahasa Mandarin. 

Dalam bahasa Mandarin, berkunjung biasa disebut canguan. Karena hanya kami yang beragama Islam, maka jauh-jauh hari sudah kami informasikan kepada laoshi bahwa kami tidak boleh memakan pork (daging babi) dan daging lainnya yang tidak dipotong dengan lafaz Allah. Alhamdulillah, sang Laoshi mengerti dan khusus untuk kami disediakan bahan dumpling (pangsit) berisi sayur.

Membuat dumpling ini, sebenarnya tidaklah sulit. Hanya dengan kulit pangsit dari tepung, sayur yang berisi jagung, jamur, dan sejenisnya, lalu ditambah air untuk merekatkannya, jadilah pangsit ala Taiwan. Setelah itu, masih di kompleks rumah baru laoshi, kami diajak jalan santai di perumahan tersebut yang terlihat masih sangat baru dan terkesan elite. 

Di dalam kompleks itu banyak dibuat taman untuk anak-anak bermain, untuk pesta barbecue, hingga fasilitas untuk menyeduh teh di alam luas. Yang berbeda dari wilayah perumahan ini adalah, jauh dari pusat kota sehingga suasana perumahannya lebih alami. Tidak bertingkat-tingkat seperti layaknya apartemen dan flat di pusat kota Taipei, Taichung, dan Kaohsiung City.

Ada dua hal yang terlihat sederhana, namun menjadi bahan renungan bagi kami di pengujung liburan kali ini. Pertama, sebagai makhluk sosial kita dituntut untuk terus mengeratkan tali silaturahmi. Apalagi dengan guru yang sudah mengajari kita bekal ilmu pengetahuan.

Kedua, tata kota ala Taiwan mengajarkan kita untuk membuat kota agar enak ditempati. Penggunaan lahan di pusat kota seefisien mungkin, area perumahan dibuat di daerah subur/pinggir kota, taman-taman luas yang dipergunakan untuk masyarakat melepas penat, lalu lintas yang teratur, serta kendaraan umum yang pilihannya banyak serta nyaman dikendarai. Maunya, Aceh pun mengadopsi konsep tata kota seperti ini. 

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia.

0 comments:

Post a Comment